gravatar

Pidato Anak Usia 12 Tahun yang Membuat Forum PBB Terdiam


Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yang bernama Severn Suzuki seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ).

ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak-anak yang mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak-anak lain mengenai masalah-masalah lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan Hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yang disampaikan oleh seorang anak kecil berusia 12 tahun hingga bisa membuat Ruang Sidang PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang-orang terkemuka yg berdiri dan memberikan Tepuk Tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (sumber The Collage Foundation)



Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Antara Engkau dan Tuhanmu saja


Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kau lakukan itu. Tetapi, tetaplah berbuat baik selalu.

Orang kerap kali tak bernalar, tak logis dan egosentris.
Tapi biarlah begitu, maafkan mereka.

Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih; tapi bagaimanapun, berbaik hatilah.

Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu; tapi bagaimanapun, jujur dan terbukalah.

Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin saja orang lain jadi iri; tapi bagaimanapun, berbahagialah.

Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu, dan beberapa sahabat sejati; tapi bagaimanapun, jadilah sukses.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin saja dihancurkan orang lain hanya dalam semalam; tapi bagaimanapun, bangunlah.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi bagaimanapun, berbuat baiklah. Bagaimanapun, berikan yang terbaik
dari dirimu.


Pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan antara engkau dan Tuhanmu,
Bukan urusan antara engkau dan mereka.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Francesco Forgione Pio, OFMCap: Mashyur Karena Stigmata


[artikel ini dicuplik dari Majalah Hidup terbitan 28 Juni 2009]

Namanya makin dikenal sejak ia mendapat karunia stigmata, yaitu luka-luka seperti yang diderita Yesus. Stigmata yang dialami Padre Pio adalah luka menganga di kedua telapak tangan, kaki, dan lambungnya. Luka-luka tersebut mengeluarkan darah terus menerus tetapi tidak menimbulkan infeksi.


Padre Pio dilahirkan di Pietrelcina, Italia Selatan, wilayah Keuskupan Agung Benevento, pada 25 Mei 1887. Nama aslinya Francesco Forgione, anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Grazio Forgione - Maria Giuseppa de Nunzio. Mereka keluarga petani sederhana.

Sejak kecil, menurut Peppa (Giuseppa), Francesco berbeda dengan anak lain. Dia jauh lebih religius. Pada usia 15 tahun, ia tertarik menjadi imam dan memilih Ordo Kapusin. Saat masuk novisiat, ia mendapat nama baru, Pio yang berarti saleh. Ia ditahbiskan sebagai imam, tahun 1910. Sejak itu, Francesco lebih dikenal sebagai Padre Pio atau Romo Pio. Hampir di sepanjang hidupnya ia tinggal di Komunitas San Giovanni Rotondo, sebuah desa pegunungan.

Semasa hidupnya, Padre Pio turut mengalami masa sulit selama Perang Dunia II. Ketika itu negara Italia harus berhemat. Roti-roti dijatah. Biara Komunitas San Giovanni Rotondo selalu kedatangan banyak tamu dan orang-orang miskin yang mengemis makanan.

Konon, pada suatu hari para biarawan pergi ke ruang makan mendapati keranjang roti hanya berisi dua pon roti, jumlah yang jauh dari cukup. Meski demikian, mereka tetap berdoa sebelum makan. Setelah itu, Padre Pio pergi ke gereja. Ketika kembali, di tangannya ada setimbunan roti. Kepala biara bertanya kepada Padre Pio: "Dari mana Padre mendapatkan roti sebanyak ini?" Padre Pio menjawab, "Seorang peziarah memberikan roti ini kepada saya dio depan pintu." Tak seorang pun memberikan komentar, tetapi setiap orang percaya bahwa hanya Padre Pio yang dapat bertemu dengan peziarah semacam itu.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Solidaritas dan Harapan Baru


[Cuplikan artikel di bawah ini bersumber dari tulisan Rm. Martin OFM yang ada di buku Teologi Politik terbitan Yayasan Bhumiksara Jakarta 2003.]
.......
Solidaritas kepada sesama manusia kadang dapat kita jadikan sebagai pedoman dan arah tindakan perealisasian iman kita juga. Dasar biblis-teologis yang menjadi cikal bakal ajaran sosial Gereja, yakni “kamu harus memberi mereka makan” (Mrk 6:37), menantang para murid untuk bersolider, berjuang demi sesama yang lapar, haus dan membutuhkan pertolongan. Untuk dapat bertindak solider, tidak perlu menunggu sampai orang menjadi kaya, tetapi harus segera dilaksanakan. Bertindak solider tidak dapat ditunda-tunda.

Solidaritas dapat juga menjadi acuan dan ukuran praksis iman kita. Hal ini menjadi nyata, kalau kita dihadapkan pada dasar biblis, khususnya Matius: “… Mari hai kamu yang diberkati oleh BapaKu, terimalah kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika aku lapar, kamu memberi Aku makanan; ketika Akku haus, kamu memberi Aku minum; ketika aku sakit, kamu merawat Aku. … Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan yuntuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25:34-36.40). Dengan demikian, solidaritas terhadap sesama itu tidak boleh ditawar-tawar lagi.


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Harumnya nama...



Harumnya bunga tidak dapat melawan arah angin, begitu pula kayu cendana, bunga tagara, dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; Harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru sampai surga. (Dhammapada 54)

Meninggalnya Gus Dur menjadi pemicu ayat/sutta ini aku ingat. Terlepas dari pro dan kontra yang ada tentang Gus Dur dan konsep2nya, banyak sosok lain dalam sejarah yang harum namanya menyebar ke segenap penjuru...


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Kakawin Sutasoma Mpu Tantular


Judul buku = Kakawin Sutasoma Mpu Tantular
Penerbit = Komunitas Bambu, Agustus 2009
Penterjemah = Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo

Bagiku, buku yang mengulas Sutasoma merupakan “buku langka”. Menjadi langka karena isinya adalah hal sangat mendasar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, akan tetapi sedikit yang beredar di masyarakat. Dari sekian puluh ribu judul buku yang ada di Jogja, hanya ada sedikit yang mengulas Sutasoma, itupun beberapa yang dalam bahasa Inggris. Selain itu juga karena inspirasi2 spiritual yang sangat mengesankan, yang tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tulisan di bawah ini adalah bagian pengantar dari buku ini dan di bawahnya adalah bait yang aku pandang menarik.


(hal. xiii)
Sekilas Tentang Kakawin Sutasoma
Karya sastra Jawa Kuno adalah karya yang digubah oleh para pujangga di masa Jawa Kuno. Abad ke-9 adalah awal dari tradisi tulis sastra dengan bahasa/aksara Jawa Kuno, yaitu Ramayana. Tradisi tulis ini terputus cukup lama, hingga pada abad ke-13 – berdirinya Majapahit – tradisi karya tulis sastra ini kembali dan mengalami masa kejayaannya hingga akhir abad ke-14. Karya Sastra Jawa Kuno yang dianggap sebagai karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin Ramayana, Mahabarata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Siwaratrikalpa, Parthayuajna, dan Kunjarakarna.

Kata kakawin berasal dari kata....., sehingga memiliki arti kata baru, yaitu karya.
Kakawin Sutasoma ditulis oleh penyair Mpu Tantular. Syair ini digubah pada zaman Raja Rajasanagara, atau Hayam Wuruk – ketika Majapahit berada di puncak kekuasaannya di paruh abad ke-14. Di bagian manggalanama Rajasanagara disebutkan. Dewa yang dipuja oleh sang penyair adalah Sri Bajranana, yang namanya tercantum di bait pertama teks Sutasoma. Kata istadewatapada bait pertama mengacu kepada Sri Bajrajnana. Kakawin Sutasoma diperkirakan ditulis dari tahun-tahun sesudah 1365 setelah Nagarakertagama diselesaikan, dan sebelum tahun 1389, ketika Rajasanagara telah mangkat....

(Hal. 113)
Bab XIII, bait 8 & 9

8.
Sang Naga dengan marah membelit dan menyemburkan bisa ke wajah dan mata Gajawaktra, yang tinggal tak tergerak dan tak terluka. Dia mau menggunakan baywagnyarddana (kekuatan angin api) untuk membakar lilitan sang naga, “Hai Durmukha, hentikan”, kata Sang Pangeran dan para pertapa. “Tidaklah tepat bagi seorang pendeta Buddha untuk membunuh lawannya!
(Durmukha adalah nama lain Gajawaktra. Sang Pangeran yg dimaksud adalah Pangeran Sutasoma – penulis blog)
9.
Karena gurumu, Bhatara Buddha berkehendak baik dan berbelas kasih kepada semua yang ada di seluruh triloka. Tidak seorang musuhpun yang boleh dibunuh. Dia hanya mengunakan kebijaksanaan suci untuk menembus pikiran lawannya. Pasti kemurkaan musuh akan hilang berganti hati yang suci dan musuhpun akan tunduk pada pikiran luhur sang pandita.

(Hal. 503)
Bab CXXXIX
1.
Sang Dewa sekarang menjadi murka sekali, karena semua senjatanya telah musnah. Kemudian dia mengubah wujudnya menjadi Kalagnirudra. Wajahnya menjadi sangat menakutkan, seolah-olah dia ingin meleburkan dunia ini menjadi debu. Mulutnya telah terbuka untuk menelan ketiga dunia.
2.
Para dewa berteriak-teriak dan khawatir menyaksikan pemandangan itu. Brahma, Wisnu, dan yang lainya turun memberikan sembah. Demikian juga Sakra, Baruna, Yama, Dhanendra, dan yang lain, diikuti oleh Kuwera, Gana dan Kumara.
3.
Semua resi dewa juga datang, melantunkan mantra Weda. Dan berdoa agar kehancuran dunia diurungkan. Mereka berkata: “Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal ini! Punyailah belas kasih kepada makhluk-makhlukmu yang akan hancur sebelum berakhirnya zaman (yuganta).
4.
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para Dewa.
5.
Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenal perbedaannya dengan selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa)
...


Klik ini untuk kelanjutannya
gravatar

Ign.Suharyo: Luka-luka Sejarah Jangan Dikubur


Judul Artikel = Luka Luka Sejarah Jangan Dikubur
Dimuat di = Majalah BASIS, Juni 2000

(Pengalaman Beliau Tentang Ketulusan – Penulis Blog)
Pada akhir bulan November 1999 lalu, saya diutus oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia untuk menghadiri pertemuan World Conference on Religion and Peace (WCRP) yang ke-7, di Amman, Yordania. Saya berangkat dalam rombongan besar dari Indonesia. Di pesawat yang kami tumpangi, ada banyak TKW (Tenaga Kerja Wanita)

Tampak sekali bahwa pesawat terbang adalah benda asing bagi kebanyakan dari antara mereka. Saya duduk di samping Bapak Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung. Sampai di Dubai, semua TKW turun. Kami pun harus berganti pesawat. Ketika mengemasi barang-barang, banyak saudari kita TKW yang tidak bisa memasukkan tasnya ke dalam bagasi atas, karena umumnya mereka pendek. Spontan Bapak Syafi’i , tanpa enggan membantu mereka. Suatu pemandangan yang menyentuh hati. Bapak Syafi’i bagi saya adalah pribadi yang tulus. Beliau menanggalkan segala macam atribut yang melekat pada dirinya dan menempatkan diri sebagai sesama bagi saudari-saudari kita itu.

Memaknakan pengalaman
(Kemudian menyampaikan ttng merpati sebagai lambang ketulusan dgn menghubungkan dgn nasihat “tulus seperti merpati” dan pelepasan merpati di Kisah Air Bah. Lantas menunjukkan suatu logo yang menggunakan merpati dan semboyan si vis pacem colle iustitiam, yg artinya “kalau Anda menghendaki perdamaian, tegakkanlah keadilan” . Kemudian melanjutkan uraian tentang ketulusan dengan lebih dalam.- penulis blog)

Ketulusan, tugas dan peluang
Jujur harus diakui dan diterima bahwa sejarah hubungan antarumat beragama, khususnya antara Islam dan kristen, bukanlah sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini mencatat dan menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin....

(Kemudian Ign.Suharyo menyebutkan Perang Salib di abad 11-13M, kolonialisme dan sikap Barat terhadap Islam, fenomena sikap “Bahaya Turki” yg berkembang di Barat sejak abad 15, sikap curiga dan pengesampingan yg dilakukan pemerintah Orde Baru di awal kekuasaannya, isu islamisasi, isu kristenisasi. – penulis blog)

... Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu kita akui dan terima dengan hati yang tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu. Kita tidak boleh mengubur ingatan-ingatan itu.

Bebas dari belenggu
Sebaliknya, kita perlu berani mengingatnya dan membebaskan diri dari belenggu-belenggunya, meskipun kita tahu bahwa untuk menyembuhkan luka-luka sejarah itu kita harus menempuh jalan yang terjal. Akan tetapi, inilah tugas kita yang amat penting untuk masa kini agar kita mempunyai masa depan. Langkah berani inilah yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus I ketika beliau meminta maaf atas pelbagai dosa dan penyimpangan Gereja selama sejarahnya.

Ini pulalah kiranya yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan tulus mengakui dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan pemerintah di masa lampau.


Klik ini untuk kelanjutannya

Popular Posts